Koalisi Masyarakat Sipil Sulut Bongkar Rapuhnya Pertahanan Negara dan Lemahnya Perlindungan Buruh TKA Filipina Masuk, Nelayan dan Buruh Lokal Tersingkir.

Koalisi Masyarakat Sipil Sulut Bongkar Rapuhnya Pertahanan Negara dan Lemahnya Perlindungan Buruh TKA Filipina Masuk, Nelayan dan Buruh Lokal Tersingkir.

Bitung, Sulawesi Utara (https://sakti-sulut.or.id) — Ketidakpastian hukum dan minimnya perlindungan negara terhadap pekerja kembali menjadi sorotan. Tujuh organisasi serikat pekerja Satu NGO tergabung di Koalisi Masyarakat Sipil Sulawesi Utara menggelar konsolidasi di Boiz Café Manembo-Nembo, Jumat (31/10/2025), mengecam lemahnya negara dalam melindungi buruh, nelayan, awak kapal perikanan, dan pekerja migran Indonesia.

Di kota yang disebut sebagai Gerbang Ekonomi Maritim Indonesia Timur, realitas di lapangan justru menunjukkan rapuhnya benteng perlindungan sosial dan hukum bagi rakyat pekerja.

“Regulasi di atas kertas berderet, tapi implementasi di lapangan nyaris mati suri,” tegas Charles, salah satu peserta diskusi.

Pertemuan dipimpin oleh Rusdyanto Makahinda dan Arnon Hiborang, menghadirkan suara kolektif bahwa negara terlalu sibuk mendorong investasi, namun abai terhadap rakyat yang menjadi fondasi perekonomian maritim.

Meski Indonesia telah mengadopsi sebagian prinsip Konvensi ILO No. 188 tentang Pekerjaan di Sektor Perikanan, hingga kini belum meratifikasinya secara resmi.
Ketiadaan ratifikasi ini menjadi bukti bahwa negara belum sepenuhnya hadir dalam menjamin keselamatan, kesejahteraan, dan hak-hak awak kapal perikanan.

“Kalau negara serius melindungi pekerja laut, maka ratifikasi ILO 188 seharusnya menjadi prioritas. Tanpa itu, perlindungan hukum kita rapuh,” ujar Arnon Hiborang, Ketua Umum Sakti Sulut.

Sejumlah peserta juga menyoroti Peraturan Gubernur Sulawesi Utara yang seharusnya menjadi turunan dari kebijakan nasional untuk melindungi nelayan dan awak kapal perikanan. Namun hingga kini, dorongan ke arah Pergub tersebut belum menunjukkan kejelasan arah dan isi perlindungan yang nyata.

“Dorongan untuk lahirnya Pergub hanya Tidak ada respon. Tidak ada kejelasan substansi yang memastikan hak-hak dasar pekerja perikanan, mulai dari keselamatan kerja, jam kerja, hingga jaminan sosial,” tegas Cindy Mundeng Perwakilan DFW I.

Sementara itu, isu paling panas yang mencuat dalam pertemuan adalah masuknya tenaga kerja asing (TKA) asal Filipina secara masif, yang diduga tidak melalui prosedur resmi. Alih-alih melindungi tenaga kerja lokal, negara justru terlihat longgar terhadap pekerja asing.

“Masuknya TKA Filipina bukan hanya merampas kesempatan kerja tenaga kerja lokal, tetapi juga bukti rapuhnya pertahanan negara yang begitu mudah diterobos warga asing. Ini bukan sekadar isu tenaga kerja — ini alarm kedaulatan negara,” ujar Ferdinand Martin Luther Lumenta, S.IP., SH, Ketua DPW FSPMI sekaligus Ketua KSPI Sulut.

Para pekerja juga menyoroti adanya dugaan perdagangan orang (TPPO) melalui jalur ketenagakerjaan maritim, dengan modus:

  1. Didatangkan sebagai nelayan atau ABK
  2. Upah jauh di bawah standar
  3. Tanpa perlindungan hukum
  4. Ditampung di kapal-kapal tertentu

Padahal UU No. 21/2007 tentang Pemberantasan TPPO secara jelas mewajibkan negara untuk mencegah, melindungi, dan menindak pelaku perdagangan manusia.
Namun di Bitung, penegakan hukum nyaris lumpuh.

Salah satu kegagalan nyata pemerintah daerah juga tampak pada Perda Perlindungan Pekerja Lokal Bitung No 13 Tahun 2018, yang disebut peserta diskusi sebagai “perda museum.”
Alih-alih menjadi tameng bagi rakyat, perda ini menganggur tanpa roh politik dan tanpa dukungan anggaran implementasi.

“Jika pemerintah daerah tidak menjalankan kebijakan perlindungan pekerja, masyarakat berhak bertanya: perda dibuat untuk siapa?” ujar Olten Sikopong.

“Hentikan kriminalisasi buruh dan nelayan yang membela hak! Kalau negara tidak membela kami, kami akan berdiri sendiri — dan negara akan berhadapan dengan rakyatnya sendiri,” tambahnya.

Bitung kini menjadi cermin pertanyaan mendasar:
Apakah negara masih berpihak pada rakyat pekerja, atau justru tunduk pada kepentingan modal dan arus asing?

Di tengah narasi besar “Indonesia Poros Maritim Dunia”, nasib pekerja maritim justru tenggelam.
Dan hari ini, Bitung berbicara lantang: negara harus kembali hadir — bukan hanya dalam pidato, tetapi dalam tindakan nyata.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *